Oleh : Ali Akbar bin Aqil
Pada suatu malam datanglah seorang utusan dari Azarbaijan. Dia ingin menghabiskan malamnya di masjid Rasulullah SAW sembari menunggu kedatangan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab pergi ke masjid untuk salat Subuh.
Tatkala pegawai itu sedang berada di masjid, tiba-tiba saja ia mendengar suara keluhan dan kerinduan kepada Allah di tengah malam, suara itu berbunyi, “Wahai Tuhanku, aku berdiri di pintu-Mu mengajukan taubatku, aku serahakan jiwaku atau Kau tolak maka aku akan mengucapkan bela sungkawa kepada jiwaku?"
Utusan itu berkata, “Siapakah engkau?"
“Aku Umar bin Khaththab.”
Orang itu terheran-heran dan merasa kaget, kemudian berucap, “Aku tidak mau pergi ke rumahmu karena kuatir mengganggu tidurmu tapi engkau sekarang di sini sedang terjaga.”
“Sesungguhnya jika aku terlelap tidur di malam hari seluruhnya, maka aku telah mensia-siakan diriku di hadapan Tuhanku. Apabila aku tidur di siang hari penuh, maka aku telah mensia-siakan rakyatku.”
Setelah kedua orang itu melaksanakan salat Subuh, Umar bin Khaththab pergi ke rumahnya bersama utusan itu. Setelah masuk ke dalam rumah Umar memanggil istrinya Ummu Kultsum, “Wahai Ummu Kultsum makanan apa yang ada padamu untuk disajikan kepada tamu kita ini ?"
“Kita tidak punya apa-apa selain roti dan garam wahai Amirul Mukminin,” jawab sang istri.
Akhirnya roti dan garam dihidangkan dan makan bersama tamunya tersebut. Selesai makan, Amirul Mukminin mengajukan pertanyaan kepada tamunya, “Apa sesungguhnya tujuan kedatangmu ke sini?"
“Kepala daerah di Azarbaijan telah mengutusku dengan membawa hadiah ini untukmu,” Jawab si utusan.
“Bukalah hadiah itu,” suruh Umar.. Dibukalah hadiah itu dan didapati di dalamnya sekaleng manis-manisan yang tidak diproduksi kecuali di negeri Azabaijan sana.
“Sungguh aku datang kepadamu sebagai utusan kepala daerah dengan membawa hadiah ini untukmu. Manisan ini tidak diproduksi kecuali di negeri sana saja,” kata sang utusan coba menjelaskan.
“Apakah setiap rakyat, engkau berikan makanan yang sama seperti ini ?” tanya Amirul Mukminin
Utusan dengan kaget berkata, “Manisan itu dibuat khusus untukmu semata, wahai Amirul Mukminin.”
Mendengar penjelasan sang utusan itu, Amirul mukminin langsung marah besar dan berkata, “Pulanglah engkau ke kepala daerahmu dan sampaikan kepadanya, “Seandainya engkau kembali melakukan perbuatan seperti ini akan kuturunkan kebinasaan yang akan meremukkan tulang punggungmu! Berikan dan bagikan manisan ini kepada kaum faqir-miskin di masjid. Haram bagi perut Umar untuk merasakan manisan yang tidak dikonsumsi oleh kaum muslimin yang faqir-miskin.”
Rasul SAW bersabda, “Sayyidul Qaum Khadimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka)." Hadits pendek ini ternyata mempunyai konsekuensi luas bagi terjaminnya kesejahteraan hidup yang menjadi tanggungan seorang pemimpin. Agar seorang pemimpin tidak berubah menjadi diktator yang memasaksakan kehendak dan hanya mementingkan kehidupan pribadinya, maka perlu dipastikan bahwa ia seyogyanya memiliki hati yang senang melayani.
Sayyidina Umar merupakan patron pemimpin berhati pelayan, sebagaimana diwejangkan oleh Nabi SAW di atas. Dari sini, dipahami bahwa kepemimpinan bukan tujuan namun sebagai sarana melayani masyarakat yang dipimpinnya dengan penuh kesadaran tanpa pamrih. Kepemimpinan merupakan amanah dilihat dari dua segi: Pertama, karena kepemimpinan adalah perintah Allah dengan segala konsekuensinya berupa kewajiban dan hak. Kedua, kepemimpinan merupakan amanah dari orang yang dipimpin kepada pemimpin.
Salah satu bentuk disia-siakannya amanah ini seperti disebutkan dalam hadis: “Tidaklah seorang pemimpin yang diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
“Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya,” ujar Nabi. Sahabat bertanya, “Bagaimana amanah disia-siakan?” Jawab Rasul, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Jauh sebelum menjadi pemimpin, Sayyidina Umar, adalah sosok sederhana. Namun, ketika menjadi khalifah, kesederhanaan itu tetap dipertahankan. Bahkan, kesederhaannya makin mendapat bentuk sempurnanya.
Sayyidina Umar sebagai pemimpin umat, tak hanya berbicara tentang kebaikan, tapi juga menjadi pelaku utama kebaikan itu sendiri. Sebelum orang lain berbuat, beliau sudah melakukannya. Baginya, keteladanan menjadi hal utama yang disoroti rakyat. Kepatuhan rakyat terhadap pemimpin, berbanding lurus dengan kecakapan mereka dalam memberikan keteladanan.
Yang penting pula diperhatikan, Sayyidina Umar mendahulukan kepentingan publik daripada sendiri. Hal itu beliau lakoni demi kepentingan, kenyamanan, dan kesejahteraan rakyatnya. Beliau mendahulukan rakyat ketimbang dirinya. Begitu amanahnya, hingga beliau pernah ditanya seseorang tentang seringnya menangis di waktu siang dan malam. Beliau berkata, “Aku telah diangkat oleh kalian sebagai pemimpin. Jika aku berlaku adil di masa kepemimpinanku, aku tetap harus mempertanggung-jawabkannya di hadapan Tuhan; jika aku berbuat zalim aku akan menerima hukuman; jika aku tidur di siang hari maka aku telah mensia-siakan rakyat dan jika aku tidur di malam hari, aku telah mensia-siakan diriku sendiri.”
Jabatan dan kedudukan apapun, tak akan ada yang kekal. Kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab, bukan kursi empuk yang selalu bisa dinikmati atau dimanfaatkan untuk hal-hal pribadi dan bersifat sementara belaka, bukan?
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul; janganlah pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahuinya. (QS Al-Anfal [08]: 27).
Pada suatu saat beliau berujar, “Kalau rakyat mengalami kekenyangan, sayalah orang terakhir yang menikmatinya. Tapi jika mereka kelaparan, sayalah yang pertama merasakannya.” Bagaimana dengan keadaan pemimpin hari ini?
Pada suatu malam datanglah seorang utusan dari Azarbaijan. Dia ingin menghabiskan malamnya di masjid Rasulullah SAW sembari menunggu kedatangan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab pergi ke masjid untuk salat Subuh.
Tatkala pegawai itu sedang berada di masjid, tiba-tiba saja ia mendengar suara keluhan dan kerinduan kepada Allah di tengah malam, suara itu berbunyi, “Wahai Tuhanku, aku berdiri di pintu-Mu mengajukan taubatku, aku serahakan jiwaku atau Kau tolak maka aku akan mengucapkan bela sungkawa kepada jiwaku?"
Utusan itu berkata, “Siapakah engkau?"
“Aku Umar bin Khaththab.”
Orang itu terheran-heran dan merasa kaget, kemudian berucap, “Aku tidak mau pergi ke rumahmu karena kuatir mengganggu tidurmu tapi engkau sekarang di sini sedang terjaga.”
“Sesungguhnya jika aku terlelap tidur di malam hari seluruhnya, maka aku telah mensia-siakan diriku di hadapan Tuhanku. Apabila aku tidur di siang hari penuh, maka aku telah mensia-siakan rakyatku.”
Setelah kedua orang itu melaksanakan salat Subuh, Umar bin Khaththab pergi ke rumahnya bersama utusan itu. Setelah masuk ke dalam rumah Umar memanggil istrinya Ummu Kultsum, “Wahai Ummu Kultsum makanan apa yang ada padamu untuk disajikan kepada tamu kita ini ?"
“Kita tidak punya apa-apa selain roti dan garam wahai Amirul Mukminin,” jawab sang istri.
Akhirnya roti dan garam dihidangkan dan makan bersama tamunya tersebut. Selesai makan, Amirul Mukminin mengajukan pertanyaan kepada tamunya, “Apa sesungguhnya tujuan kedatangmu ke sini?"
“Kepala daerah di Azarbaijan telah mengutusku dengan membawa hadiah ini untukmu,” Jawab si utusan.
“Bukalah hadiah itu,” suruh Umar.. Dibukalah hadiah itu dan didapati di dalamnya sekaleng manis-manisan yang tidak diproduksi kecuali di negeri Azabaijan sana.
“Sungguh aku datang kepadamu sebagai utusan kepala daerah dengan membawa hadiah ini untukmu. Manisan ini tidak diproduksi kecuali di negeri sana saja,” kata sang utusan coba menjelaskan.
“Apakah setiap rakyat, engkau berikan makanan yang sama seperti ini ?” tanya Amirul Mukminin
Utusan dengan kaget berkata, “Manisan itu dibuat khusus untukmu semata, wahai Amirul Mukminin.”
Mendengar penjelasan sang utusan itu, Amirul mukminin langsung marah besar dan berkata, “Pulanglah engkau ke kepala daerahmu dan sampaikan kepadanya, “Seandainya engkau kembali melakukan perbuatan seperti ini akan kuturunkan kebinasaan yang akan meremukkan tulang punggungmu! Berikan dan bagikan manisan ini kepada kaum faqir-miskin di masjid. Haram bagi perut Umar untuk merasakan manisan yang tidak dikonsumsi oleh kaum muslimin yang faqir-miskin.”
Hikmah di Balik Kisah
Rasul SAW bersabda, “Sayyidul Qaum Khadimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan bagi mereka)." Hadits pendek ini ternyata mempunyai konsekuensi luas bagi terjaminnya kesejahteraan hidup yang menjadi tanggungan seorang pemimpin. Agar seorang pemimpin tidak berubah menjadi diktator yang memasaksakan kehendak dan hanya mementingkan kehidupan pribadinya, maka perlu dipastikan bahwa ia seyogyanya memiliki hati yang senang melayani.
Sayyidina Umar merupakan patron pemimpin berhati pelayan, sebagaimana diwejangkan oleh Nabi SAW di atas. Dari sini, dipahami bahwa kepemimpinan bukan tujuan namun sebagai sarana melayani masyarakat yang dipimpinnya dengan penuh kesadaran tanpa pamrih. Kepemimpinan merupakan amanah dilihat dari dua segi: Pertama, karena kepemimpinan adalah perintah Allah dengan segala konsekuensinya berupa kewajiban dan hak. Kedua, kepemimpinan merupakan amanah dari orang yang dipimpin kepada pemimpin.
Salah satu bentuk disia-siakannya amanah ini seperti disebutkan dalam hadis: “Tidaklah seorang pemimpin yang diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
“Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya,” ujar Nabi. Sahabat bertanya, “Bagaimana amanah disia-siakan?” Jawab Rasul, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Jauh sebelum menjadi pemimpin, Sayyidina Umar, adalah sosok sederhana. Namun, ketika menjadi khalifah, kesederhanaan itu tetap dipertahankan. Bahkan, kesederhaannya makin mendapat bentuk sempurnanya.
Sayyidina Umar sebagai pemimpin umat, tak hanya berbicara tentang kebaikan, tapi juga menjadi pelaku utama kebaikan itu sendiri. Sebelum orang lain berbuat, beliau sudah melakukannya. Baginya, keteladanan menjadi hal utama yang disoroti rakyat. Kepatuhan rakyat terhadap pemimpin, berbanding lurus dengan kecakapan mereka dalam memberikan keteladanan.
Yang penting pula diperhatikan, Sayyidina Umar mendahulukan kepentingan publik daripada sendiri. Hal itu beliau lakoni demi kepentingan, kenyamanan, dan kesejahteraan rakyatnya. Beliau mendahulukan rakyat ketimbang dirinya. Begitu amanahnya, hingga beliau pernah ditanya seseorang tentang seringnya menangis di waktu siang dan malam. Beliau berkata, “Aku telah diangkat oleh kalian sebagai pemimpin. Jika aku berlaku adil di masa kepemimpinanku, aku tetap harus mempertanggung-jawabkannya di hadapan Tuhan; jika aku berbuat zalim aku akan menerima hukuman; jika aku tidur di siang hari maka aku telah mensia-siakan rakyat dan jika aku tidur di malam hari, aku telah mensia-siakan diriku sendiri.”
Jabatan dan kedudukan apapun, tak akan ada yang kekal. Kepemimpinan adalah amanah dan tanggungjawab, bukan kursi empuk yang selalu bisa dinikmati atau dimanfaatkan untuk hal-hal pribadi dan bersifat sementara belaka, bukan?
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul; janganlah pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahuinya. (QS Al-Anfal [08]: 27).
Pada suatu saat beliau berujar, “Kalau rakyat mengalami kekenyangan, sayalah orang terakhir yang menikmatinya. Tapi jika mereka kelaparan, sayalah yang pertama merasakannya.” Bagaimana dengan keadaan pemimpin hari ini?
Posting Komentar