Habib Ali lahir di desa Qosam pada hari jum’at, 24 syawal 1259 H /
1839 M; dan diberi nama Ali oleh Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein
bin Tohir untuk mengambil berkah dari Sayidina Ali Kholi’ Qosam. Ibunda
beliau, Sayidah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri (
lahir tahun 1240 H ), berasal dari kota Syibam, adalah seorang yang
sangat gemar mengajar dan berdakwah, yang memiliki banyak karomah.
Ayahanda beliau, Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi (lahir, 18 jumadil
akhir 1213 H) adalah Mufti Haramain di masanya.
NASAB HABIB ‘ALI
‘Alî bin Muhammad bin Husein bin ‘Abdullâh bin Syeikh bin ‘Abdullâh
bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shâhib asy-Syi’b bin Muhammad Asghar
bin ‘Alwî bin Abû Bakar al-Habsyî bin ‘Alî bin Ahmad bin Muhammad
‘Asadullâh bin Hasan at-Turabî bin ‘Alî bin al-Faqîh al-Muqaddam
Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad Sâhib Mirbath bin ‘Alî Khali’ Qasam bin
‘Alwî bin Muhammad bin ‘Alwî bin ‘Ubaidillâh bin al-Muhâjir Ahmad bin
‘ÃŽsâ bin Muhammad Nagîb bin ‘Alî al-‘Uraidhî bin Ja’fâr as-Shâdiq bin
Muhammad al-Bâqir bin ‘Alî Zainal ‘Âbidîn bin Husein bin Fâthimah
az-Zahrâ binti Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bin ‘Abdillâh.
Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, ayahandanya hijrah ke Mekah bersama
tiga anaknya yang telah dewasa; Abdullah, Ahmad dan Husein. Suatu
hijrah yang abadi ke Mekah, demi mematuhi keinginan Syeikh Fath beliau,
Al-Allamah Habib Abdullah bin Husein bin Tohir.
Ketika Habib Ali berumur 11 tahun, beliau bersama ibundanya pindah ke
Seiwun, supaya beliau dapat memperdalam ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu
lainnya, sesuai perintah Habib Umar bi Hasan bin Abdullah Al Haddad.
Dalam perjalanan ke Seiwun; beliau melewati Masileh dan singgah di
rumah Al-Habib Abdullah bin Husein bin Tohir. Beliau menggunakan
kesempatan itu, untuk menelaah kitab, mengambil ijazah dan ilbas.
Pada usia 17 tahun, beliau diminta ayahandanya pergi ke Mekah dan
tinggal bersama ayahnya selama 2 tahun yang penuh berkah. Setelah itu,
beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang Alim dan ahli dalam pendidikan.
Beliau kembali atas perintah ayahandanya untuk menikahkan adik beliau,
Aminah, dengan Sayyid Alwi bin Ahmad Assegaf, salah seorang murid
ayahanya.
Setelah merayakan pernikahan adiknya, Habib Ali lalu tinggal di
Seiwun untuk belajar dan mengajar. Banyak penduduk Seiwun menuntut ilmu
kepadanya. Beliau juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu dari
orang-orang alim disana. Habib Ali memiliki banyak guru, akan tetapi
guru besar beliau adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas.
Ketika Habib Ali bertemu pertama kali dengan Habib Abu Bakar bin
Abdullah Al-Attas, terlihat tubuhnya diliputi cahaya, “Lelaki ini
malaikat atau manusia” kata Habib Ali dalam hati. Suatu hari beliau
tidak bisa lagi membendung rasa rindunya kepada gurunya, Habib Abu Bakar
bin Abdullah Al-Attas; kemudian beliau pergi ke Ghurfah. Saat itu Habib
Abu Bakar sedang bertamu di rumah salah seorang kenalannya.
Tambahlah hidangan siang untuk Ali bin Muhammad Al Habsyi. Sebentar lagi ia datang kemari. Ia tidak mampu berpisah terlalu dariku.
Kata Habib Abu Bakar kepada tuan rumah.
Sesampainya Habib Ali di rumah itu, si tuan rumah memberitahu bahwa Habib Abu Bakar telah mengkasyaf kedatangannya.
Habib Ali berkata :
Ucapan kaum Sholihin cukup sebagai pengganti makanan selama sebulan. Jika mendengar Habib Abu Bakar berceramah, rasanya aku tidak membutuhkan makanan lagi. Seandainya beliau menyampaikan ilmunya selama sebulan, maka aku akan menjadikan ucapannya sebagai santapanku. Bukankah tujuan memberi makan jasad adalah ruh, padahal ucapan beliau ini adalah santapan ruh langsung.
Alangkah baiknya membicarakan ilmu dengan seorang yang ahli dan mampu menerangkannya dengan baik. Habib Abu Bakar jika menerangkan suatu ilmu kepada kami, dari kedua bibirnya meluncur ilmu-ilmu yang segera melekat di hati kami; seperti air dingin bagi orang yang sedang kehausan. Jika duduk bersama beliau, aku selalu berharap agar majelis itu tidak akan berakhir, walau selama sebulan. Saat itu, rasanya aku tidak menginginkan lagi kenikmatan duniawi, aku tidak merasa lapar atau haus.
Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas pernah berkata kepada Habib Ali :
Tidak mencintaiku kecuali orang yang berbahagia (sai’id). Tidak mencintaiku kecuali seorang yang saleh. Aku, para sahabatku dan orang-orang yang mencintaiku kelak di hari kiamat berada dalam naungan Arsy.
Wahai anakku, ketahuilah, aku mengetahui semua wali yang ada di timur dan di barat. Aku belajar kepada mereka semua. Kadang kala aku memberitahu seseorang bahwa dia adalah seorang wali karena dia sendiri tidak menyadarinya,
Ya, Ali. Sesungguhnya aku telah memeliharamu sejak kau berada dalam sulbi ayahmu.
Habib Muhammad sesungguhnya sedih melihat Habib Ali lebih senang
tinggal di Hadramaut. Ketika Habib Abu Bakar bin Abdullah Al Attas
berada di Mekah; Habib Muhammad mengadukan hal ini. Habib Abu Bakar
kemudian memberinya kabar gembira bahwa kelak di Hadramaut, Habib Ali
akan memperoleh Ahwal yang besar dan manfaat yang banyak. Baru setelah
itu, tenanglah hati Habib Muhammad, dan Allah pun mewujudkan apa yang
diucapkan Habib Abu Bakar Al Attas. Ketika Habib Ali berusia 22 tahun,
ayahandanya, Habib Muhammad meninggal dunia di Mekah. Habib Muhammad
memegang jabatan Mufti Syafiiyah Di Mekah; setelah wafatnya Syeikh
Al-Allamah Ahmad Dimyati tahun 1270 H. jabatan ini dipegangnya hingga
beliau wafat.
Pada hari rabu 21 Dzulhijah 1281 H beliau dimakamkan di Ma’laa di
Huthoh saadah Aal Baa Alawiy. Sedangkan ibunda Habib Ali, Hababah
Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri wafat pada tanggal 6
Rabiuts tsani 1309 H.
Putra –Putri Habib Ali
Dari perkawinannya dengan wanita Qosam, satu anak, Abdullah. Dari perkawinannya dengan Hababah Fathimah binti Muhammad bin Segaf Maulakhela, 4 anak (Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khodijah).Ribath Habib Ali
Ketika berusia 37 tahun, beliau membangun Ribath ( pondok pesantren )
yang pertama di Hadramaut, di kota Seiwun untuk para penuntut ilmu dari
dalam dan luar kota. Ribath menyerupai mesjid dan terletak di sebelah
timur halaman masjid Abdul Malik. Biaya orang-orang yang tinggal di
Ribath beliau tanggung sendiri. Habib Ali berkata :
Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang baik, dan Ribath ini menyimpan rahasia (sir) yang besar. Ribath ini menyadarkan mereka yang lalai dan membangunkan mereka yang tertidur. Berapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, berapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath ini merubah orang yang tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim.
Pembangunan Masjid Riyadh
Ketika berusia 44 tahun, beliau membangun Masjid Riyadh, pada tahun
1303 H. Pada bulan syawal 1305 H, Habib Ali menggubah sebuah syair
tentang Masjid Riyadh :
Inilah Riyadh, ini pula sungai-sungainya yang mengalir Yang memakmurkan mereguk segar airnya Yang bermukim tercapai tujuannya Yang berkunjung terkabul keinginannya Masjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih Maka tampaklah hasilnya
Habib Ali berkata :
Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW
Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi berkata :
Berkata penggubah syair, lembah kebaikan telah penuh. Siapa ingin hajatnya terkabul beri’tikaflah di sekitar Riyadh
Wafatnya Habib Ali
Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan
Habib semakin kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan
penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak
adalah Isthilam; yang berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan
beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu dzuhur, hari Ahad, 20 Rabiuts
tsani 1333 H / 1913 M, beliau wafat. Jenazah beliau dimakamkan
disebelah barat Masjid Riyadh.
Kholifah Habib Ali
Dalam wasiatnya Habîb ‘Alî menunjuk Habîb Muhammad sebagai khalîfahnya. Mengenai Habîb Muhammad ini, Habîb ‘Alî pernah berkata:
Kalian jangan mengkhawatirkan anakku Muhammad. Pada dirinya terletak khilafah zhâhir dan bâthin. Semoga Allâh menjadikan dia dan saudara-saudaranya penyejuk hati, semoga mereka dapat memakmurkan ribâth dan Masjid Riyâdh dengan ilmu dan amal, semoga Allâh menjadikan mereka sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan semoga Allâh memberi mereka keturunan yang saleh serta menjaga mereka dari berbagai fitnah zaman dan teman-teman yang buruk.
Sebagaimana Habîb Muhammad bin ‘Alî, adik beliau, al-Habîb al-Karîm,
seorang dai yang menyeru ke jalan Allâh, yang mengingatkan manusia akan
hari-hari Allâh, ‘Alwî bin ‘Alî, juga menyelenggarakan haul ayahnya di
kota Solo, di pulau Jawa. Masyarakat dari berbagai daerah terpencil
datang menghadiri haul. Dalam haul tersebut disampaikan ceramah, nasihat
dan pidato ilmiah. Beliau melanjutkan kegiatan-kegiatan yang telah
dirintis oleh Ayahnya.
Habîb Alwi membangun Masjid Riyâdh di Solo tahun 1355 H. Beliau
menyelenggarakan kegiatan ibadah dan taklim yang biasa diamalkan oleh
ayahnya. Mengenai Habîb Alwi ini, ayahnya pernah berkata dalam salah
satu syairnya:
Ya Tuhan, dengan kebesaran Al Musthafâ berilah ‘Alwî fath,
Dan berilah ia madad dari segala penjuru
Begitu pula semua saudara dan semua yang bersamanya Dan penuhilah kedua tangannya dengan karunia-karunia-Mu Dan jadikanlah dalam ilmu ia sebagai rujukan ahli zamannya.
(P:180)
Murid-Murid Habîb ‘Alî
Murid-murid Habîb ‘Alî antara lain adalah: anak-anak beliau sendiri,
yaitu ‘Abdullâh, Muhammad, Ahmad dan ‘Alwî. Adik beliau al-‘Allâmah
Sayyid Syeikh bin Muhammad dan kemenakan beliau Sayyid Ahmad bin Syeikh.
Kemudian al-‘Allâmah Sayyid Ja’fâr dan ‘Abdul Qâdir bin ‘Abdurrahmân
bin ‘Alî bin ‘Umar bin Saggâf as-Saggâf, al-‘Allâmah Sayyid Muhammad bin
Hadi bin Hasan as-Saggâf, al-‘Allâmah Sayyid Muhsin bin ‘Abdullâh bin
Muhsin as-Saggâf, al-‘Allâmah Sayyid Sâlim bin Shâfi bin Syeikh
as-Saggâf, al-‘Allâmah Sayyid ‘Alî bin ‘Abdul Qâdir bin Sâlim bin ‘Alwî
al-‘Aidarûs, al-‘Allâmah Sayyid ‘Abdullâh bin ‘Alwî bin Zein al-Habsyî,
al-‘Allâmah Sayyid Muhammad bin Sâlim bin ‘Alwî as-Sirî, al-‘Allâmah
Sayyid ‘Alwî bin ‘Abdurrahmân bin Abû Bakar al-Masyhûr, al-‘Allâmah
Sayyid Hasan bin Muhammad bin Ibrâhim Bilfagîh, al-‘Allâmah Sayyid ‘Alî
bin ‘Abdurrahmân bin Muhammad al-Masyhûr, al-‘Allâmah Sayyid ‘Umar dan
Sayyid ‘Abdullâh bin ‘Idrûs bin ‘Alwî al-‘Aidarûs, al-‘Allâmah Sayyid
‘Abdullâh bin ‘Alî bin Syihâbuddîn, al-‘Allâmah Sayyid ‘Abdullâh bin
‘Umar asy-Syathrî, al-‘Allâmah Syeikh Ahmad bin ‘Abdullâh bin Abû Bakar
al-Khatîb, al-‘Allâmah Sayyid Muhammad bin ‘Idrûs bin ‘Umar al-Habsyî,
al-‘Allâmah Sayyid Sâlim bin Thâhâ bin ‘Alî al-Habsyî, al-‘Allâmah
Sayyid ‘Umar bin ‘Abdullâh bin Muhammad al-Habsyî, al-‘Allâmah Sayyid
‘Umar bin ‘Abdurrahmân al-‘Aidarûs Shâhib Hazm, al-‘Allâmah Sayyid
‘Abdullâh bin ‘Alwî bin Hasan al-‘Athâs, al-‘Allâmah Sayyid Muhammad bin
Sâlim bin Abû Bakar bin ‘Abdullâh al-‘Athâs, al-‘Allâmah Sayyid ‘Umar
bin Ahmad bin ‘Abdullâh bin ‘Idrûs al-Bâr, al-‘Allâmah Sayyid Hâmid bin
‘Alwî bin ‘Abdullâh al-Bâr, al-‘Allâmah Sayyid Muhammad dan Sayyid
Musthafâ bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Alwî al-Muhdhâr, al-‘Allâmah Sayyid
Muhammad dan Sayyid ‘Umar bin Thâhir bin ‘Umar al-Haddâd.
Murid-murid beliau yang mencapai derajat alim dalam ilmu Fiqih dan
lainnya selain yang menetap di ribâth antara lain adalah: al-‘Allâmah
Sayyid Thâhâ bin ‘Abdul Qâdir bin ‘Umar as-Saggâf, al-‘Allâmah Sayyid
‘Umar bin ‘Abdul Qâdir bin Ahmad as-Saggâf, al-‘Allâmah Sayyid ‘Alwî bin
Saggâf bin Ahmad as-Saggâf, Syeikh Hasan, Ahmad dan Muhammad bin
Muhammad Bârajâ.
Orang-orang yang selalu bersama beliau sepanjang hidup beliau dan
seperti murid beliau adalah: al-‘Allâmah Sayyid Abdillâh bin Ahmad bin
Thâhâ bin Alwi as-Saggâf, Sayyid ‘Alwî bin Ahmad bin ‘Alwî bin Saggâf
as-Saggâf, Syeikh Ahmad bin ‘Alî Makârim, Syeikh Ahmad bin ‘Umar Hassan,
Syeikh Muhammad bin ‘Abdullâh bin Zein bin Hâdî bin Ahmad Bâsalâmah dan
Syeikh ‘Ubaid bin Awudh Bâ Falî’.
Posting Komentar